Kamis, 13 Januari 2011

Sekaten dari kata Sekati

Sekaten, atau pasar malam yang biasa dilakukan menjelang Maulid Nabi Muhammad SAW, selepas dari makna agamis ternyata memiliki banyak arti jika kita dapat mencermati makna di dalamnya secara mendalam. Saat ini sekaten hanya dianggap sebagai wahana hiburan bagi rakyat kecil oleh penguasa serta cara memdapat berkah dari penguasa dengan berebutan dalam acara gunungan.Namun, pada dasarnya kedua makna tersebut benar hanya terkadang kita kurang memahami makna didalam dari kedua makna tersebut.
Berikut akan saya jabarkan pemaknaan menurut diri saya yang lebih dari itu:
  • Sekaten merupakan wahana hiburan bagi rakyat, karena terdapat berbagai hiburan yang murah meriah dan terjangkau bagi semua kalangan. Selain itu ragam hiburan juga bermacam-macam
  • Sekaten dapat menumbuhkan keluarga harmonis. Stand yang beragam dan juga dapat dinikmati oleh berbagai kalangan akan membuat banyak keluarga yang tadinya jarang keluar dari rumah untuk rekreasi menjadi pergi keluar dan di sekaten mereka dapat saling berinteraksi dalam keluarga akan apa yang mereka ingini masing-masing, dengan demikian dalam keluarga itu jadi tahu seperti apa kemauan anggota keluarganya. hal ini dapat membuat keluarga jadi tambah harmonis.
  • Sekaten sebagai ajang sosialisasi antar rakyat, baik yang tua maupun muda. Stand yang beragam dan banyak dikunjungi akhirnya dapat membuat orang yang tadinya tidak saling kenal menjadi mengenal satu sama lain. Dengan demikian, orang tersebut akan memperoleh banyak teman dan berbagai sifat serta daerah asal, karena kita tahu sekaten dapat mendatang kan orang dari luar kota sekalipun.
  • Sekaten merupakan tanda syukur. Dalam sekaten diadakan suatu pembagian gunungan dari penguasa ke rakyat. Ini selain sebagai simbol bahwa penguasa juga memperhatikan rakyat, juga sebagai simbol bahwa penguasa bersyukur atas rakyatnya yang selalu mendukung pemerintahannya baik dalam bentuk pujian ataupun kritikan.
Namun, menurut saya keseluruhan, inti sekaten itu terdapat pada puncak acaranya sendiri yaitu saat gunungan di keluarkan, gamelan dibunyikan dan saat Maulid Nabi Muhammad SAW (kelahiran Nabi Muhammad).
Sekaten sebagai tanda kemakmuran. Hal ini dapat di tinjau dari komponen gunungan yang dibuat serta dari asal kata sekaten itu sendiri. Sekaten itu sendiri sebenranya dari kata Sekati, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kati itu berarti ukuran bobot yang berukuran 6,25 ons dan biasa digunakan untuk mengukur beras ketika akan di masak. Dahulu orang jika membeli beras memakai ukuran ini dengan penakar adalah setengah tempurung kelapa. Jika kita tinjau lebih dalam, Sekati berarti satu kati atau 6,25 ons, dan jika menanak nasi sebanyak 6,25 ons beras itu berarti dapat mencukupi kebutuhan hidup satu keluarga dalam satu hari. Dengan demikian keluarga tersebut tidak kekurangan. Selain dari kata sekati, komponen dari gunungan juga bermacam-macam dan biasanya adalah bahan kebutuhan sehari-hari. Bahan kebutuhan sehari-hari atau sembako itu juga merupakan salah satu penopang hidup dan kemakmuran dalam sebuah keluarga. Selain sembako juga ada papan atau kayu serta kain yang turut di ambil, kedua bahan ini mewakili dari sandang dan papan yang dibutuhkan oleh tiap insan.

Pada saat gunungan dikeluarkan juga dibunyikan gamelan sekaten atau gamelan sekati. Gamelan merupakan sebuah seni musik dan mewakili seni yang lain. Ini berarti selain bahan pangan, sandang dan papan, juga manusia dianggap akan makmur bila dapat menikmati atau memiliki suatu rasa seni, salah satunya seni musik. Tidak hanya itu, Hari Maulid Nabi Muhammad SAW pun adalah saat dimana gunungan di keluarkan, ini berarti bahwa segalanya itu tidak akan mengalami kemakmuran jika kita tidak mengenal suatu agama dan Tuhan yang memberikan segalanya untuk kita.

Sehingga dengan demikian, pada hemat saya para penguasa dan jaman dahulu memandang bahwa suatu kemakmuran itu tercipta apabila unsur Pangan, Sandang, Papan, Seni dan Rohani itu tercukupi dan dalam keadaan yang seimbang. Keseimbangan tersebut dapat diambil dari kata sekati karena dengan beras sekati satu keluarga dapat melakukan berbagai pekerjaannya pada satu hari itu.


Sekali lagi pemaknaan tersebut menurut tafsiran saya sendiri, maaf jika ada salah kata.

Semoga bermanfaat,

Terima kasih.

Selasa, 07 Desember 2010

Malam 1 Suro, Jamasan dan Tapa Bisu

Pada malam 1 suro, malam tahun baru kalender Jawa, di bumi Yogyakarta dan Surakarta terdapat beberapa kemiripan tradisi. Tradisi tersebut adalah Jamasan Pusaka dilanjutkan kirab pusaka, dan juga Tapa Bisu. Tradisi tersebut biasanya dilakukan pada malam hari.

Mungkin sekarang sedikit masyarakat yang mengetahui makna dibalik dari tradisi tersebut kecuali hanya sebagai ritual malam 1 suro. Sebetulnya jika kita telaah lebih dalam, dalam 2 ritual atau kegiatan tersebut terdapat makna yang cukup mendalam terlebih untuk menyambut datangnya tahun baru. Dalam hal ini tahun baru yang di sambut merupakan tahun baru Jawa.

Nah, disini saya mencoba untuk berbicara sedikit mengenai makna-makna dari ritual tersebut sejauh yang saya pahami.

1. Jamasan Pusaka
Jamasan Pusaka merupakan suatu kegiatan yang bertujuan untuk membersihkan pusaka-pusaka yang dimiliki seseorang. Sebetulnya dalam jamasan itu, bukan hanya pusaka yang nampak yang harus dibersihkan, namun juga pusaka yang tidak nampak. Pusaka yang nampak dapat berupa Keris, Tombak, Panah, Pedang, Pistol, atau apapun. Sedangkan pusaka yang tidak nampak itu adalah hati.

kenapa perlu di bersikan?
Pusaka-pusaka tersebut perlu di bersihkan agar selalu siap digunakan setiap saat. Jika jarang di bersihkan, pusaka tersebut akan menjadi berkarat dan ketika di butuhkan unuk sesuatu, ia sudah tidak layak di gunakan.

Begitu pula dengan hati, ia harus kita bersihkan dari segala dendam dan kotoran yang ada, karena hati selalu kita gunakan setiap saat. Apabila jarang kita bersihkan, maka kita juga yang rugi, kepekaan kita terhadap lingkungan tertutup karena kotoran-kotoran duniawi. Oleh karena itu, pada setiap malam tahun baru suro diadakan intropeksi diri dalam bentuk tapa bisu.

2. Tapa Bisu
Merupakan rangkaian dalam ritual yang dimana setiap peserta tidak boleh berbicara hingga acara selesai. Biasanya acara tersebut mengkirab pusaka keraton keliling keraton. Pada prosesi tapa bisu ini, peserta juga diharapkan untuk tidak mengenakan alas kaki. Sebetulnya jika saya pahami lebih dalam, tujuan dari tapa bisu ini merupakan suatu acara berintropeksi diri terhadap berbagai tindakan dan pikiran yang telah tercipta selama satu tahun tersebut.

mengapa tanpa alas kaki?
Tidak memakai alas kaki karena diharapkan saat berintropeksi tersebut kita dapat menyatu dengan alam, dan juga membuang setiap enegi negatif yang ada di dalam diri tersbut ke bumi untuk di netralkan. Dengan kaki telanjang pula kita juga dapat merasakan bahwa sesungguhnya kehidupan itu tidaklah mulus walau berbagai upaya telah di lakukan. Sama seperti jalan yang dilalui tidak ada semulus yang kita kira walau telas di aspal dengan baik.


Oleh karena itulah, melalui jamasan pusaka dan tapa bisu keraton berpengharapan agar dalam memulai tahun yang baru kita juga dapat mulai dari bersih dan dengan semangat yang baru pula untuk menjadi semakin baik dengan memperbaiki apa yang belom baik pada tahun sebelumnya. Serta untuk menyiapkan kita akan berbagai situasi yang datang tanpa rencana baik oleh alam maupun oleh manusia sendiri.

Semoga dengan ini kita semakin sadar bahwa tradisi itu baik untuk kita teruskan. Karena setiap tradisi yang ada, pastilah ada makna kehidupan di dalamnya.

Kamis, 23 September 2010

Dimanakah Tuhan?

Pertanyaan "dimanakah Tuhan" merupakan pertanyaan simpel namun cukup sulit untuk dimengerti jika itu di tujukan kepada kita, orang beragama. Agama menyebutkan tempat ibadah itu merupakan rumah Tuhan. Namun apa itu benar dan tepat? Jika iya, berarti Tuhan ahanya berada disana saja dong. Jikapun tidak, kenapa setiap kita beribadah selalu kesana?

Pertanyaan tersebut mungkin juga akan kita tujukan kepada orang lain jika mereka tampak kurang beragama. misalnya: "dimanakah Tuhanmu?".

Disini saya akan sedikit menjawab dan mengulas tentang pemahaman orang Jawa ketika mendapat pertanyaan tersebut melalui sebuah kisah nyata yang sudah lama terjadi. Kita anggap saja orang Jawa yang memegang tradisi tersebut dengan inisial 'A' dan orang yang beragama dengan inisial 'B'.

Suatu hari, A melakukan sebuah ritual di dalam kamarnya dan dengan hening. Dia tidak melakukan ritual yang cukup tidak biasa bagi kita saat ini. Melalui kemenyan dan dupa, dia mendupai dan menaruh tempat pembakaran tersebut di pangkuannya dengan berdoa dan mengarahkan asap menyan yang harum tersebut ke tubuhnya.

Karena baunya sangat khas, maka si B mulai curiga dan bertanya-tanya akan maksud dari ritual tersebut. Setelah si A selesai melakukan ritual, si B langsung mendekati dan bertanya kepada si A. Demikian percakapan mereka berdua:

B: "Eyang tadi sedang melakukan apa?
A: "Sedang sembahyang, (beribadah). Ada apa?"
B: "Kalau beribadah, kenapa eyang mendupai diri eyang sendiri?"
A: "Kalau kita beribadah, kita menyembah dan berkomunikasi kepada siap?"
B: "Kepada Tuhan."
A: "Terus dimanakah Dia berada?"
B: ...........Diam termenung............ "dirumah ibadat?"
A: "Tuhan itu tidak berada di rumah ibadat dan tidak berada di mana-mana, termasuk pohon besar ataupun batu"
B: "lalu dimana?"
A: "Dia selalu berada di hati dan diri kita. Oleh sebab itu, aku selalu mendupai diriku sendiri, karena saat itu aku berarti menyembah, menghaturkan wewangian, dan berkomunikasi dengan Tuhan."
B: "O begitu ya...."

Terkadang kita orang beragama yang dengan jelas di terangkan dalam kitab suci lupa jika Tuhan itu berada dalam diri kita. Namun, mereka yang berkeyakinan Jawa dan berdoa berdasarkan pengalaman justru lebih memahami di manakah Tuhan itu. Jika kita seperti A, dimanapun berada kita akan selalu ingat jika Tuhan selalu beserta kita, selalu menjaga kita, selalu mendampingi kita, dan kita pun akan semakin merasakan cinta-Nya yang turun ke kita. Dari rasa tersebut tentunya kita akan semakin berhati-hati dalam setiap bertindak dan berucap, karena kita bertindak dan berucap bukan hanya menyertakan diri kita sendiri namun kita juga menyertakan Tuhan yang bersemayam dalam diri kita.

Semoga dengan ini kita semakin diingatkan jika Tuhan selalu bersemayam dalam diri kita dan beserta kita. Jalanilah hidup yang baik dan seturut kehendaknya dengan mencintai sesama dan alam, karena dengan demikian berarti kita telah bekerja dan menjalani hidup bersama Tuhan.

Sekian.

Rabu, 28 Juli 2010

Pentingnya Menghargai Kearifan Lokal

Belakangan ini sering kita mendengar bahkan mungkin merasakan sendiri jika berbagai bencana alam sering singgah di bumi Nusantara ini. Mulai dari bencana banjir, gempa bumi, longsor hingga tsunami. Mungkin dari bencana tersebut yang sring kita dengar adalah gempa bumi dan banjir yang hampir di setiap pelosok Nusantara dapat mengalaminya. Bencana tersebut tidaklah pandang bulu, segla sesuatu yang menghalangi pergerakannya dilahapnya. Sehingga kita tidaklah dapat melawan bencana, kita hanya mampu mencegah dan menanggulangi atau memperkecil dampak dari kerusakan yang ada.

Ternyata usaha tersebut telah di pelajari secara tidak langsung oleh para leluhur kita dahulu. Mungkin sekarang sedikit yang mengetahui dengan pasti apa saja usaha-usaha penanggulangan tersebut, begitu pula dengan saya. Namun, lambat laun saya sedikit mengetahuinya dan saya mendapatkan pengetahuan tersebut juga tidaklah secara langsung melainkan melalui pemberitaan dari televisi, seringnya saya mendapati tempat-tempat yang masih melestarikan tradisi dan juga dari pembicaraan orang-orang tua yang masih hidup saat ini.

Baik, saya akan coba mulai berbagi mengenai kearifan lokal atau mungkin budaya dan pengetahuan lokal Jawa.

Saya akan memberikan gambaran tentang lempeng benua dalam arti orang Jawa jaman dahulu. Orang Jawa jaman dulu tidaklah mengetahui ilmu geologi barat, mereka juga tidak memiliki kapa selam yang mampu menyelam hingga ke dasar samudra seluruh Nusantara. Namun, tanpa kita sadari, orang Jawa dahulu pernah mengatakan atau beranggapan jika bumi Nusantara ini di topang oleh 3 naga besar yang melintang dan membujur serta letaknya mirip dengan letak ketiga lempeng yang berada di Indonesia saat ini. Maaf untuk namanya tiap naga saya lupa. Selain itu, mereka juga beranggapan jika ketiga naga tersebut bertemu di daerah Maluku. Serta, setiap kali ada gempa mereka juga beranggapan jika salah satu naga tersebut sedang mengoletkan tubuhnya. Dari sini kita sudah dapat memahami jika orang Jawa dulu telah mengetahui bagaiman gempa bumi itu terjadi dan pola pergerakannya.

Dari pengetahuan dan anggapan tersebut, maka orang Jawa selalu berusahan membangun bentuk rumah atau bangunan yang memiliki kerusakan terkecil jika terkena bencana gempa bumi yaitu rumah berbentuk Joglo. kenapa saya juga beranggapan demikian? Itu karena saya melihat rumah-rumah Joglo asli jaman dahulu itu tidak menggunakan paku, hanay menggunakan pasak untuk mengambung tiap bagian. Selain itu, Joglo juga memiliki 4 pilar utama pada bagian tengah rumah yang di hubungkan dengan kayu yang juga hanya di masuk masukkan serta ujungnya di lebihkan. Pada mulanya melihat bangunan tersebut saya bingung untuk apa sisa kayu yang menonjol keluar hingga suatu saat saya memiliki anggapan jika itu untuk toleransi pergerakan guncangan rumah jika sedang terkena gempa bumi. kita pun tahu jika dengan pasak maka tingkat toleransi antar sambungan lebih tinggi dari pada menggunakan paku.

Selain dari model pilar bangunan, penempatan bangunan juga, yaitu bangunan Joglo juga hanya menempatkan cakar ayam hanya pada pilarnya saja sehingga rumah bangunan tersebut akan mudah menyesuaikan goncangan gempa dengan tujuan untuk memperkecil resiko runtuhnya bangunan. Serta bentuk bangunan yang terbuka lebar juga membuat para penghuni mudah keluar jika terjadi suatu bencana alam.

Model bangunan yang disesuaikan dengan keadaan alam dan bencana yang banyak berkunjung bukan saja di tanah Jawa namun juga di berbagai daerah penjuru Nusantara lainya. Misalnya orang Kalimantan membuat rumah panggung yang tinggi dengan tujuan agar ketika terjadi pasang atau banjir besar rumah tersebut tetap kering karena kit pun tahu jika Kalimantan dikelilingi suangai-sungai besar. Kemudian saya juga pernah mendengar rumah Sunda yang terdiri atau terbuat dari bambu dengan tujuan jika rumah tersebut terkena gempa dan rusak mereka dapat dengan mudah untuk mengembalikannya ke bentuk rumah.

Selasa, 20 Juli 2010

Seni itu Pribadi Pemiliknya

Seni itu pribadi pemiliknya, ungkapan ini terpikirkan setelah saya menonton pertunjukan SIEM dan SIPA pada bulan ini. mengapa saya berpikiran seperti itu, karena setelah menonton pertungjukan-pertunjukan tersebut saya seperti berada di suasana daerah dimana kesenian tersebut berada dan mengerti seperti apa kepribadian dari daerah-daerah tersebut. Selain itu, saya juga beranggapan jika setiap kesenian itu muncul dari suatu kepribadian masyarakat setempat.

Dalam hal ini saya memberi beberapa contok yang begitu terlihat yaitu antara orang Sumatera dengan orang Jawa. Dimata orang Jawa, orang Sumatera nampak begitu tegas dan cepat dalam setiap saat dan segala sesuatu diutarakan secara langsung, dan hal tersebut juga saya lihat dalam bebagai bentuk lagu dan tarian yang berasal dari sana yang sebagian besar bertempo tegas. Berbeda dengan orang Jawa yang di mata orang Sumatera lemah lembut, kesenian yang berasal dari jawapun terlihat pelan dan lembut.

Okey, disini saya akan mencoba membahas lebih lanjut bagaimana saya beranggapan jika Seni itu Pribadi Pemiliknya. Namun, tetap saja saya menulis dalam lingkup kesenian dan budaya yang berada di Jawa.

Seni Sastra

Seni sastra yang saya maksud dalam hal ini meliputi bentuk tulisan dan bahasa. Jika kita melihat bentuk tulisan jawa, disana terlihat suatu bentuk yang terluhat polos namun juga detail dan melengkung. Sehingga dari tulisan tersebut, kita dapat mengatakan jika untuk menulis saja harus membutuhkan kelembutan dan keuletan serta detail agar dapat menghasilkan bentuk seperti itu. Ini bukan berarti tidak ada ketegasan dalam diri orang Jawa, karena jika kita cermati kembali, tetap ada unsur-unsur ketegasan yang terselip dalam tulisan tersebut. Yah bagi saya orang Jawa memiliki suatu ketegasan tersembunyi di balik kelembutannya.

Kemudian dari segi bahasa. orang Jawa sendiri memiliki bahasa yang beragam sesuai kalangan dimana mereka sedang berada dan berbicara (secara garis besar dibagi dua, yaitu Ngoko dan Krama). dalam hal ini kita juga dapat menyimpulkan jika orang Jawa mampu beradaptasi dan tahu diri dimana mereka berada dan berhadapan. Dihadapan para petinggi, mereka tetap menghormati sedangkan di hadapan anak buah mereka juga dapat dihormati. Namun, terkadang kita sering lupa akan posisi-posisi kita berada karena kita terbiasa dengan 1 bahasa untuk segala hal. Saat sekarang ini, jika kita jadi bawahan, kita sering memposisikan diri kita menjadi bawahan dimana-mana walaupun itu di depan anak atau bawahan kita saat kita telah naik jabatan. dan juga sebaliknya saat jadi atasan kita sering memposisikan diri juga menjadi atasan dimana kita berada tanpa melihat siapa yang sedang kita hadapi. Bagi saya orang Jawa telah mampu memposisikan diri dimana mereka berada, melalui tutur kata dan bahasa mereka.

Seni Tarian


Jika kita memperhatikan tarian Jawa disana sering terdapat perbedaan tempo atau ketukan. Pada awal suatu tarian, tempo lambat kemudian bergerak cepat dan menegas, dan melambat kemudian. Disini kita dapat melihat jika orang Jawa itu lebih melihat suatu proses dalam kehidupan manusia. Orang Jawa sadar jika menuju suatu puncak keberhasilan tertinggi manusia itu perlu suatu perjalanan panjang dan pelan (tempo lambat pada awal) dan kemudian kita akan mengalami keberhasilan kita dalam jalani kehidupan apakah menyenangkan terhadap diri kita ataupun tidak (tempo cepat dan tegas) setelah kita berhasil, kita akan mengalami kehidupan tua untuk mengakhiri keberhasilan tersebut, dan sebaiknya kita mengakhirinya secara pelan agar kita tidak merasakan begitu kehilangan terhadap keberhasilan tersebut (tempo melambat kembali). Selain itu, dalam kehidupan kita, juga diperlukan ketegasan yang kita selipkan dalam proses tersebut agar keberhasilan tersebut sesuai keinginan kita (gerakan-gerakan tegas dalam tarian yang sedikit-sedikit dikeluarkan penari). Inilah yang menarik bagi saya karena saya melihat bahwa dalam setiap kelembutan tarian Jawa ternyata terdapat suatu ketegasan dan pelajaran dalam memaknai kehidupan.