- Sekaten merupakan wahana hiburan bagi rakyat, karena terdapat berbagai hiburan yang murah meriah dan terjangkau bagi semua kalangan. Selain itu ragam hiburan juga bermacam-macam
- Sekaten dapat menumbuhkan keluarga harmonis. Stand yang beragam dan juga dapat dinikmati oleh berbagai kalangan akan membuat banyak keluarga yang tadinya jarang keluar dari rumah untuk rekreasi menjadi pergi keluar dan di sekaten mereka dapat saling berinteraksi dalam keluarga akan apa yang mereka ingini masing-masing, dengan demikian dalam keluarga itu jadi tahu seperti apa kemauan anggota keluarganya. hal ini dapat membuat keluarga jadi tambah harmonis.
- Sekaten sebagai ajang sosialisasi antar rakyat, baik yang tua maupun muda. Stand yang beragam dan banyak dikunjungi akhirnya dapat membuat orang yang tadinya tidak saling kenal menjadi mengenal satu sama lain. Dengan demikian, orang tersebut akan memperoleh banyak teman dan berbagai sifat serta daerah asal, karena kita tahu sekaten dapat mendatang kan orang dari luar kota sekalipun.
- Sekaten merupakan tanda syukur. Dalam sekaten diadakan suatu pembagian gunungan dari penguasa ke rakyat. Ini selain sebagai simbol bahwa penguasa juga memperhatikan rakyat, juga sebagai simbol bahwa penguasa bersyukur atas rakyatnya yang selalu mendukung pemerintahannya baik dalam bentuk pujian ataupun kritikan.
Kamis, 13 Januari 2011
Sekaten dari kata Sekati
Selasa, 07 Desember 2010
Malam 1 Suro, Jamasan dan Tapa Bisu
Kamis, 23 September 2010
Dimanakah Tuhan?
Rabu, 28 Juli 2010
Pentingnya Menghargai Kearifan Lokal
Belakangan ini sering kita mendengar bahkan mungkin merasakan sendiri jika berbagai bencana alam sering singgah di bumi Nusantara ini. Mulai dari bencana banjir, gempa bumi, longsor hingga tsunami. Mungkin dari bencana tersebut yang sring kita dengar adalah gempa bumi dan banjir yang hampir di setiap pelosok Nusantara dapat mengalaminya. Bencana tersebut tidaklah pandang bulu, segla sesuatu yang menghalangi pergerakannya dilahapnya. Sehingga kita tidaklah dapat melawan bencana, kita hanya mampu mencegah dan menanggulangi atau memperkecil dampak dari kerusakan yang ada.
Ternyata usaha tersebut telah di pelajari secara tidak langsung oleh para leluhur kita dahulu. Mungkin sekarang sedikit yang mengetahui dengan pasti apa saja usaha-usaha penanggulangan tersebut, begitu pula dengan saya. Namun, lambat laun saya sedikit mengetahuinya dan saya mendapatkan pengetahuan tersebut juga tidaklah secara langsung melainkan melalui pemberitaan dari televisi, seringnya saya mendapati tempat-tempat yang masih melestarikan tradisi dan juga dari pembicaraan orang-orang tua yang masih hidup saat ini.
Baik, saya akan coba mulai berbagi mengenai kearifan lokal atau mungkin budaya dan pengetahuan lokal Jawa.
Saya akan memberikan gambaran tentang lempeng benua dalam arti orang Jawa jaman dahulu. Orang Jawa jaman dulu tidaklah mengetahui ilmu geologi barat, mereka juga tidak memiliki kapa selam yang mampu menyelam hingga ke dasar samudra seluruh Nusantara. Namun, tanpa kita sadari, orang Jawa dahulu pernah mengatakan atau beranggapan jika bumi Nusantara ini di topang oleh 3 naga besar yang melintang dan membujur serta letaknya mirip dengan letak ketiga lempeng yang berada di Indonesia saat ini. Maaf untuk namanya tiap naga saya lupa. Selain itu, mereka juga beranggapan jika ketiga naga tersebut bertemu di daerah Maluku. Serta, setiap kali ada gempa mereka juga beranggapan jika salah satu naga tersebut sedang mengoletkan tubuhnya. Dari sini kita sudah dapat memahami jika orang Jawa dulu telah mengetahui bagaiman gempa bumi itu terjadi dan pola pergerakannya.
Dari pengetahuan dan anggapan tersebut, maka orang Jawa selalu berusahan membangun bentuk rumah atau bangunan yang memiliki kerusakan terkecil jika terkena bencana gempa bumi yaitu rumah berbentuk Joglo. kenapa saya juga beranggapan demikian? Itu karena saya melihat rumah-rumah Joglo asli jaman dahulu itu tidak menggunakan paku, hanay menggunakan pasak untuk mengambung tiap bagian. Selain itu, Joglo juga memiliki 4 pilar utama pada bagian tengah rumah yang di hubungkan dengan kayu yang juga hanya di masuk masukkan serta ujungnya di lebihkan. Pada mulanya melihat bangunan tersebut saya bingung untuk apa sisa kayu yang menonjol keluar hingga suatu saat saya memiliki anggapan jika itu untuk toleransi pergerakan guncangan rumah jika sedang terkena gempa bumi. kita pun tahu jika dengan pasak maka tingkat toleransi antar sambungan lebih tinggi dari pada menggunakan paku.
Selain dari model pilar bangunan, penempatan bangunan juga, yaitu bangunan Joglo juga hanya menempatkan cakar ayam hanya pada pilarnya saja sehingga rumah bangunan tersebut akan mudah menyesuaikan goncangan gempa dengan tujuan untuk memperkecil resiko runtuhnya bangunan. Serta bentuk bangunan yang terbuka lebar juga membuat para penghuni mudah keluar jika terjadi suatu bencana alam.
Model bangunan yang disesuaikan dengan keadaan alam dan bencana yang banyak berkunjung bukan saja di tanah Jawa namun juga di berbagai daerah penjuru Nusantara lainya. Misalnya orang Kalimantan membuat rumah panggung yang tinggi dengan tujuan agar ketika terjadi pasang atau banjir besar rumah tersebut tetap kering karena kit pun tahu jika Kalimantan dikelilingi suangai-sungai besar. Kemudian saya juga pernah mendengar rumah Sunda yang terdiri atau terbuat dari bambu dengan tujuan jika rumah tersebut terkena gempa dan rusak mereka dapat dengan mudah untuk mengembalikannya ke bentuk rumah.
Selasa, 20 Juli 2010
Seni itu Pribadi Pemiliknya
Dalam hal ini saya memberi beberapa contok yang begitu terlihat yaitu antara orang Sumatera dengan orang Jawa. Dimata orang Jawa, orang Sumatera nampak begitu tegas dan cepat dalam setiap saat dan segala sesuatu diutarakan secara langsung, dan hal tersebut juga saya lihat dalam bebagai bentuk lagu dan tarian yang berasal dari sana yang sebagian besar bertempo tegas. Berbeda dengan orang Jawa yang di mata orang Sumatera lemah lembut, kesenian yang berasal dari jawapun terlihat pelan dan lembut.
Okey, disini saya akan mencoba membahas lebih lanjut bagaimana saya beranggapan jika Seni itu Pribadi Pemiliknya. Namun, tetap saja saya menulis dalam lingkup kesenian dan budaya yang berada di Jawa.
Seni Sastra
Seni sastra yang saya maksud dalam hal ini meliputi bentuk tulisan dan bahasa. Jika kita melihat bentuk tulisan jawa, disana terlihat suatu bentuk yang terluhat polos namun juga detail dan melengkung. Sehingga dari tulisan tersebut, kita dapat mengatakan jika untuk menulis saja harus membutuhkan kelembutan dan keuletan serta detail agar dapat menghasilkan bentuk seperti itu. Ini bukan berarti tidak ada ketegasan dalam diri orang Jawa, karena jika kita cermati kembali, tetap ada unsur-unsur ketegasan yang terselip dalam tulisan tersebut. Yah bagi saya orang Jawa memiliki suatu ketegasan tersembunyi di balik kelembutannya.
Kemudian dari segi bahasa. orang Jawa sendiri memiliki bahasa yang beragam sesuai kalangan dimana mereka sedang berada dan berbicara (secara garis besar dibagi dua, yaitu Ngoko dan Krama). dalam hal ini kita juga dapat menyimpulkan jika orang Jawa mampu beradaptasi dan tahu diri dimana mereka berada dan berhadapan. Dihadapan para petinggi, mereka tetap menghormati sedangkan di hadapan anak buah mereka juga dapat dihormati. Namun, terkadang kita sering lupa akan posisi-posisi kita berada karena kita terbiasa dengan 1 bahasa untuk segala hal. Saat sekarang ini, jika kita jadi bawahan, kita sering memposisikan diri kita menjadi bawahan dimana-mana walaupun itu di depan anak atau bawahan kita saat kita telah naik jabatan. dan juga sebaliknya saat jadi atasan kita sering memposisikan diri juga menjadi atasan dimana kita berada tanpa melihat siapa yang sedang kita hadapi. Bagi saya orang Jawa telah mampu memposisikan diri dimana mereka berada, melalui tutur kata dan bahasa mereka.
Seni Tarian
Jika kita memperhatikan tarian Jawa disana sering terdapat perbedaan tempo atau ketukan. Pada awal suatu tarian, tempo lambat kemudian bergerak cepat dan menegas, dan melambat kemudian. Disini kita dapat melihat jika orang Jawa itu lebih melihat suatu proses dalam kehidupan manusia. Orang Jawa sadar jika menuju suatu puncak keberhasilan tertinggi manusia itu perlu suatu perjalanan panjang dan pelan (tempo lambat pada awal) dan kemudian kita akan mengalami keberhasilan kita dalam jalani kehidupan apakah menyenangkan terhadap diri kita ataupun tidak (tempo cepat dan tegas) setelah kita berhasil, kita akan mengalami kehidupan tua untuk mengakhiri keberhasilan tersebut, dan sebaiknya kita mengakhirinya secara pelan agar kita tidak merasakan begitu kehilangan terhadap keberhasilan tersebut (tempo melambat kembali). Selain itu, dalam kehidupan kita, juga diperlukan ketegasan yang kita selipkan dalam proses tersebut agar keberhasilan tersebut sesuai keinginan kita (gerakan-gerakan tegas dalam tarian yang sedikit-sedikit dikeluarkan penari). Inilah yang menarik bagi saya karena saya melihat bahwa dalam setiap kelembutan tarian Jawa ternyata terdapat suatu ketegasan dan pelajaran dalam memaknai kehidupan.