Rabu, 28 Juli 2010

Pentingnya Menghargai Kearifan Lokal

Belakangan ini sering kita mendengar bahkan mungkin merasakan sendiri jika berbagai bencana alam sering singgah di bumi Nusantara ini. Mulai dari bencana banjir, gempa bumi, longsor hingga tsunami. Mungkin dari bencana tersebut yang sring kita dengar adalah gempa bumi dan banjir yang hampir di setiap pelosok Nusantara dapat mengalaminya. Bencana tersebut tidaklah pandang bulu, segla sesuatu yang menghalangi pergerakannya dilahapnya. Sehingga kita tidaklah dapat melawan bencana, kita hanya mampu mencegah dan menanggulangi atau memperkecil dampak dari kerusakan yang ada.

Ternyata usaha tersebut telah di pelajari secara tidak langsung oleh para leluhur kita dahulu. Mungkin sekarang sedikit yang mengetahui dengan pasti apa saja usaha-usaha penanggulangan tersebut, begitu pula dengan saya. Namun, lambat laun saya sedikit mengetahuinya dan saya mendapatkan pengetahuan tersebut juga tidaklah secara langsung melainkan melalui pemberitaan dari televisi, seringnya saya mendapati tempat-tempat yang masih melestarikan tradisi dan juga dari pembicaraan orang-orang tua yang masih hidup saat ini.

Baik, saya akan coba mulai berbagi mengenai kearifan lokal atau mungkin budaya dan pengetahuan lokal Jawa.

Saya akan memberikan gambaran tentang lempeng benua dalam arti orang Jawa jaman dahulu. Orang Jawa jaman dulu tidaklah mengetahui ilmu geologi barat, mereka juga tidak memiliki kapa selam yang mampu menyelam hingga ke dasar samudra seluruh Nusantara. Namun, tanpa kita sadari, orang Jawa dahulu pernah mengatakan atau beranggapan jika bumi Nusantara ini di topang oleh 3 naga besar yang melintang dan membujur serta letaknya mirip dengan letak ketiga lempeng yang berada di Indonesia saat ini. Maaf untuk namanya tiap naga saya lupa. Selain itu, mereka juga beranggapan jika ketiga naga tersebut bertemu di daerah Maluku. Serta, setiap kali ada gempa mereka juga beranggapan jika salah satu naga tersebut sedang mengoletkan tubuhnya. Dari sini kita sudah dapat memahami jika orang Jawa dulu telah mengetahui bagaiman gempa bumi itu terjadi dan pola pergerakannya.

Dari pengetahuan dan anggapan tersebut, maka orang Jawa selalu berusahan membangun bentuk rumah atau bangunan yang memiliki kerusakan terkecil jika terkena bencana gempa bumi yaitu rumah berbentuk Joglo. kenapa saya juga beranggapan demikian? Itu karena saya melihat rumah-rumah Joglo asli jaman dahulu itu tidak menggunakan paku, hanay menggunakan pasak untuk mengambung tiap bagian. Selain itu, Joglo juga memiliki 4 pilar utama pada bagian tengah rumah yang di hubungkan dengan kayu yang juga hanya di masuk masukkan serta ujungnya di lebihkan. Pada mulanya melihat bangunan tersebut saya bingung untuk apa sisa kayu yang menonjol keluar hingga suatu saat saya memiliki anggapan jika itu untuk toleransi pergerakan guncangan rumah jika sedang terkena gempa bumi. kita pun tahu jika dengan pasak maka tingkat toleransi antar sambungan lebih tinggi dari pada menggunakan paku.

Selain dari model pilar bangunan, penempatan bangunan juga, yaitu bangunan Joglo juga hanya menempatkan cakar ayam hanya pada pilarnya saja sehingga rumah bangunan tersebut akan mudah menyesuaikan goncangan gempa dengan tujuan untuk memperkecil resiko runtuhnya bangunan. Serta bentuk bangunan yang terbuka lebar juga membuat para penghuni mudah keluar jika terjadi suatu bencana alam.

Model bangunan yang disesuaikan dengan keadaan alam dan bencana yang banyak berkunjung bukan saja di tanah Jawa namun juga di berbagai daerah penjuru Nusantara lainya. Misalnya orang Kalimantan membuat rumah panggung yang tinggi dengan tujuan agar ketika terjadi pasang atau banjir besar rumah tersebut tetap kering karena kit pun tahu jika Kalimantan dikelilingi suangai-sungai besar. Kemudian saya juga pernah mendengar rumah Sunda yang terdiri atau terbuat dari bambu dengan tujuan jika rumah tersebut terkena gempa dan rusak mereka dapat dengan mudah untuk mengembalikannya ke bentuk rumah.

0 comments:

Posting Komentar